
Tokoh
Foto-Foto Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima GAM Paling Disegani
Postingan saya sebelumnya adalah tentang Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima Yang Suka Merakyat. Postingan tersebut saya tulis karena ketertarikan saya akan perjuangan yang beliau lakukan semasa masih hidup.
Hingga akhir hayatnya, beliaupun pernah bernasehat “Anak-anakku semua, jika kalian dengar saudara-saudara kalian sudah mati syahid, segera sambung perjuangannya sampai Aceh merdeka. Begitu juga kalau kalian dengar saya sudah mati syahid, lanjutkan perjuangan ini,” pinta Abdullah Syafiie mengakhiri amanatnya.
Mungkin sekarang perjuangannya sudah berbeda arah, karena cita-cita Aceh Merdeka sudah punah. Namun amanat beliau tersebut masih tetap bisa diperjuangkan dengan menjadikan Aceh sebagai daerah yang bermartabat dan makin di hargai oleh Indonesia juga dunia.
Untuk itu, kali ini saya coba untuk posting Foto-Foto Perjuangan Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima GAM Paling Ditakuti. Mengapa? anda tau, ternyata foto-foto tentang beliau dijual mahal. Anda bisa cek di Store.Tempo.Co.
Untuk foto-foto yang saya tampilkan disini adalah hasil searching dari beberapa media yang pernah memuatnya.
![]() |
Teungku Lah menerima Bondan Gunawan, Sekretaris Negara yang diutus Presiden Abdurrahman Wahid pada 16 Maret 2000 |
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e saat menyatakan dirinya dalam keadaan sehat pasca diberitakan telah tewas oleh TNI |
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e bersama pasukan Inong Balee, pasukan wanita yang berjuang menjadi tentara GAM |
Teungku Abdullah Syafi’e menyerahkan bendera bulan bintang
untuk dikibarkan pada upacara ulang tahun GAM
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e dengan motor Astrea Supra |
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e saat memantau kesiapan pasukan dalam sebuah upacara didampingi Darwis Jeunib |
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e saat memimpin pasukan berada dibarisan paling depan |
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e saat pertemuan pasukan GAM |
![]() |
Teungku Abdullah Syafi’e saat tewas ditembak TNI perhatikan, wajahnya tetap tersenyum bukan? |
Pada malam menjelang subuh itu, 25 Januari 2002, isak tangis dan salawat bergema di Desa Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Salah satu keranda yang diusung adalah Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah Syafie. Ada juga istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya Teungku Daud Hasyim dan Teungku Muhammad Ishak. Mereka tewas akibat kontak senjata antara GAM dan TNI tiga hari sebelumnya, di Desa Sarah Panyang Jiemjiem, sekitar empat kilometer dari Blang Sukon.
Tanpa dimandikan, keempat jenazah itu lalu dimakamkan dalam satu liang. Pemakaman berlangsung sederhana. Tak ada simbol-simbol GAM seperti bendera atau letusan senjata api sebagaimana lazimnya penguburan seorang panglima militer. Tak ada pula petinggi GAM lain di sana.
Masyarakat setempat mengenang Abdullah Syafie sebagai sosok ramah dan bersahaja. Itu sebabnya, tiga warga desa yang terletak 35 kilometer di selatan Kota Sigli itu sempat pingsan, tak kuasa menahan haru.
“Saya belum pernah menemukan seorang pemimpin yang begitu dekat dan bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,” ujar pria separuh baya.
Pria yang akrab disapa Teungku Lah itu tak hanya disenangi kawan, tapi juga disegani lawan. Letkol Infanteri Supartodi yang ketika itu menjabat Komandan Distrik Militer (Dandim) 0102 Pidie mengakui kelebihan Teungku Lah. “Beliau orang baik. Tapi karena ideologinya bertentangan, ia harus berhadapan dengan kami,” ujar Supartodi.