
Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima GAM Yang Suka Blusukan
"Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini merdeka. Teungku Abdullah Syafie (Panglima Gerakan Aceh Merdeka)"
Kata-kata diatas adalah wasiat terakhir dari panglima Gerakan Aceh Merdeka Teungku Abdullah Syafi’e. Jujur, saya dulu sangat mengidolakan beliau, sampai-sampai fotonya saya tempel didinding lemari saya saat jadi santri di Pesantren Darul Arafah Medan.
Lalu siapakah Teungku Abdullah Syafie sebenarnya? Masa-masa itu setiap koran dan tabloid yang terbit dengan menampilkan sosok Teungku Abdullah Syafi’e selalu laris.
Teungku Abdullah Syafi’e adalah tokoh paling dicari oleh pemerintah Indonesia saat Aceh sedang masa-masa genting menghadapi permusuhan dengan Indonesia. Beliau adalah Panglima Gerakan Aceh Merdeka saat itu. Panggilan akrabnya dikalangan GAM adalah ‘Teungku Lah’.
Selama 20 tahun lebih beliau berjuang dan bergerilya bersama pasukan GAM lainnya dikawasan Bireun. Beliau adalah sosok yang tegas, sopan, sangat santun dan bersahaja. Namun beliau sangat anti dengan kekerasan. Mungkin itulah yang menjadi latar belakang beliau berjuang bersama GAM untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia dengan melihat banyak nya ketidak adilan dan kekerasan yang didapat rakyat Aceh.
Perkenalan beliau sendiri dengan GAM bermula pada tahun 1980, beliau bergabung dengan kelompok GAM Hasan Tiro. Hingga akhirnya beliau dipercaya untuk memimpin pasukan sebagai Panglima GAM Sumatra.
Berbeda dengan pejuang GAM lain seperti Muzakkir Manaf (saat ini wakil gubernur Aceh) yang banyak mengenyam pendidikan militer di Libya, Tgk Lah tak pernah merasakan itu. Beliau hanyalah seorang sosok yang berkepribadian.
Beliau dikenal sangat akrab dengan masyarakat Aceh. Hal inilah yang sangat ditekankan beliau kepada seluruh pasukannya. Beliau mengajarkan mereka untuk selalu dekat dengan rakyat Aceh karena rakyat Aceh lah tujuan utama mereka berjuang. Rakyat Acehlah yang menjadi modal semangat mereka.

Dari sikap inilah, saat Aceh dalam masa-masa genting banyak masyarakat Aceh yang rela berkorban apapun. Mereka terkadang menjadi pelindung bagi pasukan yang sedang berperang. Saya masih ingat sekali ketika rumah saya sering didatangi pasukang GAM. Almarhum ayah saya selalu diminta materi untuk membantu perjuangan GAM.
Teungku Lah adalah sosok yang sangat dicari oleh banyak media, hal itupun beliau tanggapi dengan ramah, ia dianggap sebagai tokoh utama perjuangan Aceh saat itu. Banyak media yang berhasil meliput aksinya, beberapa tokoh Indonesia dan Artis seperti Cut Keke pun pernah berjumpa dengannya.
Bahkan takkala beliau dinyatakan telah tewas oleh TNI, beliau mengundang sebuah stasiun televisi nasional untuk meliputnya dan memberi pernyataan bahwa beliau masih hidup, hal ini beliau lakukan untuk tetap menjaga semangat juang pasukannya. Beberapa kali pertempuran sengit beliau selamat. Berita inipun dulu sempat heboh dipesantren saya. Hingga akhirnya saya baca koran dengan headline foto berikut;

Teungku Lah selalu mengajarkan pasukannya agar tak pernah berhenti untuk berterima kasih kepada rakyat Aceh yang telah membantu perjuangannya. Bahkan beliau tak segan-segan mengancam pasukannya yang berani mengkhianati rakyat Aceh dengan sanksi militer.
Beliau pernah berkata dalam bahasa Aceh “Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah,” intinya, berterima kasihlah terhadap bangsa Aceh, jangan saling bersitegang, meski kalah sedikit biarkanlah asal jangan pernah mau kalah dengan musuh penjajah bangsa.
Selain itu beliau juga selalu mengajarkan ketaatan kepada Allah dalam setiap nasehatnya kepada pasukan. Maka takkala itu para pejuang GAM sangat meyakini bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan syahid melawan penjajah Indonesia. Aceh saat itu pun benar-benar Islami, wanita berjilbab mulai digalakkan dimana-mana, sekolah dan instansi pemerintah mulai libur dihari jumat.
Saya sendiri masih ingat ketika berada di kampung Sigli saat hari peringatan lahirnya GAM, kami berlari rame-rame kesebuah kampung untuk melihat proses upacaranya. Pasukan GAM berdiri dengan sangat gagah berserta senjata lengkap, disisi lain sekumpulan ‘Inong Balee’ tentara wanita GAM pun berbaris rapi. Saat bendera dikibarkan, tidak ada nyanyian lagu ini itu, bendera dikibarkan dengan lantunan Azan.
Teuku Abdullah Syafi’e adalah orang yang sangat mengerti akan akhir dari kemerdekaan Aceh. Bagi beliau Aceh tidak mungkin akan merdeka hanya melalui jalur militer. Maka beliau sangat menghargai proses diplomasi yang dilakukan juru runding GAM dan Pemerintah Indonesia saat itu.
Beliau berkeyakinan bahwa perjuangan bangsa Aceh menegakkan kemerdekaan dilindungi oleh hukum internasional dan PBB. Ketentuan PBB yang dikeluarkan tahun 1946, mengharamkan penjajahan di atas muka bumi. “Setiap bangsa berhak atas kemerdekaan. Demikian disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights.
Berdasarkan hal itu, kita nyatakan kepada masyarakat dunia internasional bahwa kita hendak berhukum dengan sistem hukum sendiri. Masyarakat internasional wajib menerima perjuangan kita karena keinginan kita ini sah,” papar Abdullah Syafiie.
Banyak rakyat Aceh yang tak percaya ketika kabar tewasnya beliau dalam pertempuran mencuat. Saat itu menurut cerita yang saya dapat beliau tewas dalam sebuah serangan yang di pegunungan Jiem-Jiem. Sebelumnya gerak-gerik beliau telah dipantau oleh TNI selama seminggu.
Beliau tewas terkena tembakan dibagian dada bersama istrinya yang sedang hamil enam bulan dan dua pasukan pengawal beliau. Jasad mereka akhirnya disemayamkan di Gampong Cobu, Pidie Jaya pada tanggal 22 Januari 2002 tanpa dimandikan karena yakin syahid dibunuh oleh penjajah.
Kini beliau telah tiada, Aceh pun sudah berdamai dengan Indonesia dan tidak jadi merdeka. Semangat yang dulu beliau perjuangkan pun kini telah pudar. Banyak mantan tentara yang berjuang bersama beliau kini malah saling berselisih dengan kepentingan masing-masing. MoU Helsinki yang menjadi titik perdamaian Aceh pun hingga kini belum benar-benar tuntas. Tapi beliau tetap cocok untuk dijadikan Pahlawan Aceh.